Perfectionist is never Perfect

Aku si perfeksionis!

Dulu, aku kira jadi manusia perfect itu adalah anugerah. Satu-satunya yang bisa kubanggakan, tentu merasa lebih baik dari siapapun. Semua serba teliti, orientasi kepada detail, dan ga boleh ada kesalahan sekecil apapun. Kalau salah? Aku anggap GAGAL. Lalu aku merutuki diri sendiri kenapa bisa salah, padahal sudah dipersiapkan dengan matang, tentu dengan waktu yang engga sedikit. Jam tidurku, main bersama teman, scrolling social media, semua aku pertaruhkan untuk tugas yang mungkin persentase penilaiannya hanya berpengaruh sedikit. 

Jadi perfeksionis itu kutukan yang harus dihilangkan. Banyak kesempatan berlalu hanya karena terlalu takut memulai, banyak analisa pada detail kecil, padahal kalau dimulai sambil belajar hasilnya bisa lebih bagus daripada terlalu banyak pertimbangan di awal, akhirnya ngga jadi. Untuk memulai aja ngga bisa, padahal orang lain udah pada ninggalin start point, mereka berjalan, meskipun persiapannya ngga begitu matang. Padahal untuk memulai ngga harus sempurna, hanya butuh sedikit keberania.

Banyak mikir>waktu terbuang>takut gagal= Ga pernah bisa mulai

Persiapan 50%>modal nekad>belajar sambil jalan= output kelihatan

Ngga usah terlalu berbelit mikirin konsep. Persiapan itu ngga harus 100% mateng. Padahal hanya cukup 50% kamu bisa langsung jalan. Aku sadar ini waktu aku ngerjain skripsi dulu. 

Throwback..

Aku adalah salah satu mahasiswi yang termasuk mumpuni di bidang akademik. Hal tersebut tentu aja dibuktikan dengan hasil ipk tiap semester yang selaku lebih dr 3.50, bahkan aku pernah dapat 4.00. "Ah tapi pintar ga diukur dari seberapa gede ipk". Iya, betul tp untuk dapet ipk segitu tentu ngga cuma modal duduk leha-leha kan? Aku perlu review materi tiap selesai kelas, begadang untuk ujian, banyak baca buku atau materi dari dosen. Tapi apakah pintar aja cukup untuk bisa lulus tepat waktu? Padahal cita-citaku dulu bisa lulus dengan predikat cumlaude. Semua gara-gara aku PERFEKSIONIS.

Akhir semester saat semua mahasiswa menyusun skripsi dan berlomba-lomba untuk mengajukan seminar, aku masih sibuk dengan draft dan penelitianku. Aku mengulang-ulang penelitianku supaya hasilnya sempurna, aku mengerjakan dan merombak beberapa kali draft skripsiku supaya layak dibaca dosen pembimbing. Disaat teman-temanku nekad untuk menyerahkan draft yang belum sempurna, aku masih sibuk mengejar kesempurnaan. Akhirnya? Ya, aku tertinggal. Mereka satu persatu lulus, draft skripsi bisa direvisi setiap kali bimbingan, penelitian bisa diulang saat memang perlu pengulangan, dan aku? Aku cuma bisa nangis. Aku salah. Aku sadar kalau perfeksionis adalah sifat yang memang harus segera dihilangkan. 

Sebenarnya untuk apa aku memikirkan draft skripsiku sempurna dibaca kalau memang ada revisi? Untuk apa aku terus mengulang penelitianku supaya hasilnya terlihat bagus kalau tidak diperlukan pengulangan? Aku sadar saat semuanya terlambat dan sudah lewat satu semester dari masa studiku. Ngga ada cara lain selain harus bisa melawan sendiri sifat perfeksionis itu. 

Aku mulai menyusun strategi, mengumpulkan jurnal untuk bahan referensi, mencoba meluangkan 24 jam waktuku untuk menulis paragraf, dan menghubungi Dosen Pembimbingku setiap Jam 7 pagi untuk bimbingan. Aku melakukan bimbingan setiap hari. Ritmeku sama, setelah pulang bimbingan, aku langsung menuju kost untuk bersih-bersih dan lanjut untuk mengerjakan skripsi sampai malam bahkan pagi. Mulanya aku berpikir 'satu hari satu paragraf, jangan tinggalin skripsi lebih dari 24 jam'. Tapi, lama-lama kok malah ketagihan ngerjain skripsi dan surprisingly aku bisa lho untuk menyelesaikan draft skripsku dalam waktu satu bulan dengan hanya revisi 1x. Lagi dan lagi, ternyata hanya perlu memulai, kalau salah kan bisa dibenerin sambil bimbingan. Padahak draftku pertama kali yang aku serahkan kepada Dosen Pembimbing itu adakah draft mentah yang kesiapannya mungkin cuma 50%. 

Ternyata hanya dengan langkah kecil, aku bisa menyelamatkan diriku sendiri, bisa lulus lebih celat dari teman-temanku satu tim (meskipun tetap saja lebih dari 4 tahun) tapi dari sana aku bisa belajar pengalaman yang ga bisa dibeli dimana-mana. Mungkin kalau aku ngga dimasih ujian saat itu, aku masih jadi si perfeksionis itu. Menyebalkan. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rencana Malam Minggu

Kita sedang Tidak Bersaing

Menjadi Aku