Berani Bermimpi

 


Source: Pinterest


"Jangan pernah membunuh mimpimu karena sedalam-dalamnya kamu kubur, dia akan cuma pingsan dan bangkit di usia kamu tua dalam bentuk penyesalan"-Pandji Pragiwaksono.

Sederhana, kan? Namun tentunya bermakna dalam ketika kita menyadari pentingnya memiliki keberanian untuk bermimpi. Sebagian orang menganggap bahwa bermimpi sama saja dengan berhutang. Berhutang untuk mewujudkan. Hal itulah yang menjadi asal muasal dari banyaknya manusia di bumi yang memilih untuk takut bermimpi. Padahal mimpi itu gratis. Kita berhak memiliki ribuan bahkan jutaan mimpi. Kita berhak memilih mimpi mana yang akan kita ukir dalam fantasi kita. Lalu, bagaimana jika ribuan bahkan jutaan mimpi itu ternyata hanya sekadar 'mimpi'?

Tak banyak dari kita memiliki mindset seperti ini: "Bagaimana jika ribuan bahkan jutaan mimpi kita ternyata berhasil? at least 10 dari 100 mimpi kita ternyata terwujud? Tentu bukan hal yang mudah dalam mewujudkan mimpi-mimpi kita. Ok, berbicara berhasil atau tidak sebaiknya kita simpan dahulu, karena hanya akan membuat kita takut bermimpi. Bagimana jika kita bentuk mindset awal seperti ini: "Aku memiliki banyak sekali mimpi yang bisa aku wujudkan dalam 5 tahun kedepan. Aku berani bermimpi dan berani mewujudkannya. Mimpiku adalah pilihan hidupku, dan aku siap akan hal itu". 

Kesiapan dalam bermimpi tentu saja diiringi dengan kesiapan dalam berproses. Keduanya harus berjalan beriringan dan seimbang. Ketika kita memutuskan untuk memilih satu mimpi, saat itu juga putuskan juga satu tindakan untuk mendukung mimpi tersebut. Supaya mimpi kita tidak berakhir hanya sebatas 'mimpi'. 

Based on my true story
 
Aku seorang penakut. Dulu, sekadar bermimpi saja aku takut. Saat usiaku 24 tahun, aku baru sadar bahwa sudah ribuan mimpi aku relakan begitu saja karena rasa takutku. teringat ketika aku kecil dulu. Saat aku duduk di halam rumah, memperhatikan beberapa temanku yang asyik bermain sekaligus mempersiapkan diri untuk HUT RI 17 Agustus. Beberapa dari mereka memainkan lompat tali, egrang, balap karung, balap kelereng, dan yang lainnya. Aku? hanya duduk diam sambil memperhatikan. Muncul pertanyaan dalam hatiku kala itu "Kenapa mereka begitu pandai memainkan permainan itu?" "Lalu, apakah aku juga bisa seperti mereka?". Aku pulang ke rumah dengan tidak melakukan permainan apapun. Hanya menjadi penonton. Ibu kemudian menemuiku sore itu dan berbicara padaku "Kak, besok acara 17 Agustus ikut lomba yaa". Aku menggerutu dan menolak tawaran Ibu, lalu menyimpan semua yang kupikir 'ketidakmungkinan' itu.

Semenjak sore itu, Ibu mengajariku satu hal sederhana untuk tidak takut bermimpi. Ibu mengajariku bahwa aku boleh bermimpi jadi apa saja, aku bebas memilih mimpi. Pada saat itu aku memilih bermimpi untuk menjadi peraih juara terbanyak pada acara HUT RI 17 Agustus yang diadakan di kampungku. Aku bergegas bergabung dengan teman-temanku untukbelajar bermain egrang, tak tik cepat memasukkan paku ke dalam botol, membawa kelereng dengan sendok supaya seimbang, balap karung, dan lompat tali. Aku juga belajar bermain hulahop. Meskipun berkali-kali aku gagal tidak bisa mempertahankan hulahupku di pinggang, terjatuh saat berusaha melompat lebih tinggi pada permainan lompat tali, tersungkus saat berusaha berbalik badan mengejar lawan saat balap karung, tapi magicnya 'Aku berkembang'. Saat acara HUT RI 17 Agustus, aku mendaftarkan diriku pada semua lomba, termasuk sepeda hias, yang telah aku persiapkan jauh-jauh hari dibantu Bapak. Karena persiapan lombaku yang matang, telah aku asah setiap sore sembari bermain bersama teman-temanku, benar saja aku berhasil menjadi peraih juara terbanyak di acara HUT RI 17 Agustus di kampungku. Bonusnya semua lomba yang kuikuti mendapatkan juara 1. Bukan kebetulan, keberanianku dalam bermimpi membawaku melakukan usaha secara konsisten. Satu persen keberanianku dalam bermimpi bertambah.

Beranjak SD, aku masih menjadi orang yang berambisi untuk meraih mimpi-mimpiku. Tentunya dalam tahap usia dini ini, peran orang tua sangatlah penting. Bersyukurnya memiliki orang tua yang mendukung keinginan dan ambisi anaknya. Seperti yang kulihat di acara tv jaman dulu, anak-anak seusiaku menjadi juara cerdas cermat, juara kelas, dan energic. Aku mulai memikirkan  jika ternyata aku menjadi juara kelas selama 6 tahun aku sekolah. Aku berusaha memperhatikan guru, membuat tugasku dengan kesungguhan, berani mengangkat tangan untuk menjawab pertanyaan dan bertanya, dan belajar setiap pulang sekolah dan malam hari. Semua aku lakukan agar aku menjadi juara kelas. Benar saja, satu persatu harapanku terwujud berkat tidak pernah takut bermimpi. Meskipun dalam realitanya aku tak selalu menjadi juara 1, setidaknya juara 1 atau 2 sudah kusabet habis selama 6 tahun bersekolah.

Berani bermimpi membawaku menjadi pribadi yang ambisius. Namun bukan berarti rasa takut dan pesimis tidak mengintaiku. Peralihan dari masa kanak-kanak menjadi masa remaja tentu saja menjadi perjalanan paling berkesan, dimana aku akan bertemu dengan banyak masalah yang bisa memicu keberanianku dalam bermimpi. Meskipun tetap menjadi juara kelas, banyak sekali hal-hal yang sebenarnya memiliki potensi besar untuk kucapai ternyata lewat begitu saja. Banyak faktor internal yang berkecamuk dalam pikiran yang selalui menghantuiku untuk berpikir pesimis. Banyak kompetisi yang tidak aku ikuti, padahal sebetulnya aku mampu, hanya saja 'Aku takut gagal'. Memperoleh juara kelas selama sekolah tentu membuatku jadi seorang perfeksionis dan menciptakan mindset bahwa 'seorang juara pantang gagal'. Sehingga aku hanya memilih comfort zone saja, aku takut jika meninggalkan zona nyamanku untuk mengejar mimpiku aku akan gagal. Sampai pada saat hari dimana aku diberikan kesempatan untuk mendapatkan jalur undangan pada seleksi masuk PTN favorit, aku tidak berani menuliskan mimpiku pada secarim kertas itu. Mimpiku berkuliah di Jurusan Kedokteran atau Teknik Kimia harus sirna karena aku malah memilih pilihan keduaku agar aku lulus kala itu. Penyesalan itu terus berputar di otakku hingga usiaku 24 tahun. Padahal jika aku berani, aku akan mendapatkan satu tiket menuju peluangku lulus. Karena ternyata pada saat itu, keberanianku bermimpi diambil oleh rekanku yang justru berada pada satu peringkat di bawahku-dia berhasil lulus!-

Sebenarnya ada satu penyesalanku lagi saat aku menduduki masa SMA. Saat itu, aku ditawari masuk kelas jalur akselerasi, namun aku menolak karena harus melalui seleksi tertulis. Aku berpikir kepandaianku tidak cukup jika harus bersaing dengan murid-murid yang berasal dari sekolah lain. Sehingga aku memutuskan untuk mengambil jalur reguler saja. Lagi dan lagi, aku melihat satu temanku yang bersemangat untuk mencoba peruntungan seleksi tersebut dan whoops! dia berhasil. Ya Tuhan kegagalanku kala itu benar-benar menjadikanku bangkit dari keterpurukan dan kemunduran mindset.
 
Usiaku 17 Tahun, dan aku  sedang berkuliah di salah satu universitas impianku melalui jalur undangan dengan jurusan yang sebenarnya tidak aku inginkan. Bukan berarti aku bermalas-malasan, aku malah menemukan pribadiku yang baru. Aku mulai berani lagi menyusun mimpiku satu persatu. Kuncinya hanya satu: Berani. Ketika aku berani bermimpi artinya aku berani bertindak. Saat itu mimpiku sederhana, ingin lulus semua mata kuliah dan mendapatkan Indeks Prestasi 4.00, namun lagi dan lagi mimpiku selalu beriringan dengan rasa pesimis. Mengingat persaingan kampus bukan lagi persaingan antar kabupaten. Disini aku bertemu banyak sekali teman dari ujung sabang sampai merauke dengan segudang prestasi yang bisa dibilang tidak biasa. Namun, ada yang unik selama aku mempelajari tujuanku. Aku tidak lagi fokus pada hasil akhirku dan meletakkan kemelekatan pada tujuanku. Aku lebih memilih berfokus pada cara-cara yang dapat aku kendalikan. 

Tahun-tahun perkuliahan aku isi dengan kesibukan dan ambisi seorang mahasiswa. Mulai dari menjadi asisten praktikum, ikut lomba PKM, ikut Himpunan Organisasi, webinar untuk menambah skill, belajar autodidak setiap malam. Hasilnya sudah mulai terlihat di akhir semester dengan indesk prestasiku yang tidak pernah ada di bawah 3.50 dan pada tahun ke-3 perkuliahan aku berhasil mencapai Indeks Prestasi 4.00. Tentu tidak semudah hanya menuliskan angka, aku belajar mati-matian sambil mengerjakan kegiatan lainnya di luar akademik. Beberapa kali aku menjadi salah satu mahasiswa yang lulus pada mata kuliah yang menjadi momok di kelas. Bahkan, 90% dari mahasiswa di prodiku harus mengulang 2x dengan hasil akhir dipukul rata yaitu nilai E. 

Aku tentunya cukup bangga, namun tidak menjadikanku sebagai bahan untuk merasa lebih bisa dan puas. Masih ada tantangan besar selanjutnya yaitu saat aku mengerjakan skripsi. Apesnya, aku mendapatkan dosen pembimbing skripsi yang benar-benar 'killer'. Mendengar namanya saja merinding, bahkan tak jarang beberapa mahasiswa tingkat atas gagal dalam menyelesaikan skripsi dengan beliau dan harus berpinda topik untuk menghindari dosen tersebut. Tentu aku harus profesional dala menyelesaikan skripsiku. Tidak hanya cukup melakukan yang terbaik pada setiap hasil penelitian yang aku suguhkan untuk bimbingan, aku juga harus mengenali karakternya yang begitu teliti. Pada saat itu aku cukup tertampar dengan salah satu perkataan Dosen Pembimbingku (padahal beliau seorang Dosen pembimbing ya), kurang lebih beliau berkata seperti ini: "Hati-hati loh. Banyak yang revisi berkali-kali dan tidak lulus, nanti ujungnya bisa pindah. Kalau berhadapan dengan beljau harus teliti seperti x (nama temanlu yang memang dekat sekali dengan beliau). 

Tidak apa, orang lain meragukanku. Aku tetap bertumpu pada keyakinan dan mimpiku untuk segera memakai toga. Saat itu, ketika bimbingan aku sudah mempersiapkan semuanya. Jurnal-jurnal lengkap, belajar beberapa hari sebelumnya, draft skripsi yang sudah rapih, dan pembawaan yang tenang dan sopan. Lalu, let see!!! Hasilnya hanya kurang lebih 30 menit bertemu beliau dengan hanya 2x bimbingan skipsiku langsung di terima oleh beliau. Yes, Acc!

Beralih dari perkuliahan, aku mencoba melamar kerja di salah satu Big Company produksi gula terkenal di Indonesia. Dengan begitu keajabian yang aku dapatkan dari berani bermimpi, aku yakin bahwa ketika kita bermimpi akan sesuatu yang sangat kita inginkan, sesuatu itu akan bekerja pada diri kita, menggerakkan diri kita untuk mencapaianya (catatannya harus benar-benar ingin, bukan hanya sekadar mau). Melihat dari profile company tersebut sangatlah oke, SDMnya pun berasal dari kampus-kampus ternama di Indonesia. Ketika aku stalking Linked In pengalamannyapun sangat awesome. Lalu apakah mentalku ciut? Tentu tidak. Aku berani, karena 'know your worth' yg aku terapkan. Aku berasa dari kampus yang bagus juga, aku punya ilmu dan pengalaman, aku punya value, dan aku unik. Hasilnya? Ya! Aku diterima setelah melalui 3x interview di posisi yang tidak aku sangka sebelumnya; posisi yang menempatkanku pada tugas dan tanggung jawab yang besar sebagai seorang kepala seksi di Divisi. 

'Mungkin, kalau aku terus memupuk rasa insecureku, aku tidak akan pernah mendapatkan kesempatan ini. Aku hanya perlu sedikit keberanian dan percaya diri untuk menjemput kesempatan itu'

Jangan menciut hanya karena berhadapan dengan orang-orang hebat di luar sana, jangan sampai lupa bahwa kamupun hebat. Bagaimana bisa kamu meragukan diri sendiri, disaat orang lain takut akan keberadaanmu. Pov orang-orang akan selalu berbeda, yang merasa dirinya kecil adalah orang-orang yang tidak membuka potensinya, mereka sibuk membandingkan dirinya dengan pencapaian orang lain. Padahal dalam dirinya tertanam 1001 potensi. Jangan sibuk memperhatikan orang lain hanya untuk membandingkan bahwa dirimu paking ciut, tapi lihatlah orang lain sebagai suatu power untuk terus bertumbuh dan menjadi versi terbaikmu.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rencana Malam Minggu

Kita sedang Tidak Bersaing

Menjadi Aku